Langsung ke konten utama

Kejujuran yang Pahit

Hari itu, matahari berada tepat di atas kepala, pertanda hari mulai siang. Tak seperti biasanya aku kembali ke perantauan sesiang ini. Wajar saja, kali ini aku tak kembali ke Kota M, melainkan ke Kota S karena kini aku harus praktik industri di sana. Entah kenapa pulang kampung kali ini membuatku merasa betah di rumah. Walaupun kini aku mulai menyadari statusku di rumah itu, namun tetap saja aku merasa nyaman. Aku menikmati hari-hari yang cukup singkat bersama mereka, keluarga angkataku. Tak ada yang berbeda, bapak masih sakit, ibu juga terlihat kurang sehat, Mbak Tin masih suka memarahi anaknya. Dan Si Naughty Arya juga masih menyebalkan. Namun buka sisi negatif itu yang keperhatikan kali ini. Aku lebih fokus pada perhatian mereka. Entahlah, meskipun kadang terbesit pikiran-pikiran negatif tentang niat  buruk mereka, namun aku tetap berusa meyakinkan diriku bahwa mereka benar-benar menyayangiku dengan sepenuh hati.
Kuakui setiap kali aku hendak kembali ke perantauan, aku benar-benar tidak sanggup membendung air mataku. Biasanya butiran bening itu akan kutumpahkan di bus. Entah kenapa aku sangat menyayangi mereka lebih dari apapun. Bahkan melebihi orang tua kandungku. Mungkin karena aku hidup dengan asuhan mereka. Sampai  siang itu saat ibu mengantarku mencari angkutan umum, seorang wanita tua bertanya,”iku anak’e Sum(ibu kandungku) ta?” (apakah itu anaknya Sum). Aku selalu geram saat orang menanyakan pertanyaan yang sudah ribuan kali kudengar itu. Namun aku hanya diam, dan mencoba menerka jawaban ibu. Aku yakin ibu akan menjawab ‘tidak, ini anakku’. Namun aku bukan peramal, bukan pula paranormal. Aku hanya manusia biasa yang kebetulan ditakdirkan sebagai anak yatim sejak dalam kandungan dan harus menjalani hidup dengan asuhan orang lain. Ternyata dugaanku salah, jawban ibu kali ini menjadi goncanga terdasyat dalam jiwaku. Sepeleh, karena ibu hanya menjawab, “hehe, Iya”. Rasanya lebih sakit dari seribu kali tamparan. Oh ibu. Mengapa engkau setega ini kepada anak yang ‘katanya’ sangat kau banggakan ini. Seperti yang kukatakan, pertanyaan seperti itu sudah ribuan kali terlontar, namu sejak aku kecil, hanya satu jawaban yang selalu kudengar. ‘Tidak, ini anakku’, hanya itu. Aku sadar bahwa jawaban yang kuinginkan adalah sebuah kebohongan. Mungkin aku bisa menerimanya jika ibu mengakatakan kebenaran itu langsung padaku. Bukan dengan cara ini. Dan karena kejadian singkat itu, sekejap mataku berkunang-kunang, aku tak berani menatap wajah ibu. Hatiku hancur. Karena tak sanggup kubendung, kutumpahkan air mataku di dalam angkutan umum. Tak peduli apa kata mereka, yang kutahu aku sangat kecewa.
Hari-hariku di tanah perantauan kuhabiskan dengan merenung, dan tiap kali tanpa sengaja kulihat wajah ibu, hatiku bak luka terkena perasan jeruk nipis. Aku benar-benar belum bisa menerinya. Yang selalu kupikirkan adalah, kini ibu tak lagi menyayangiku. Hanya itu. Enggan rasanya aku kembali ke rumah. Kini aku merasa tak memiliki tempat di dunia ini. Semuanuya hanya sementara, tak kutemui Home Sweet Home yang digembar-gemborkan oleh banyak orang. Aku kembali pada jati diriku. Terbuang. Yeah, sama seperti saat aku dilahirkan. Aku bukan anak haram, tapi kehadiranku memang tak diinginkan. Kehadiranku menyisahkan beban mendalam setelah ayah pergi. Harusnya aku tak perlu hadir dimuka bumi ini, cukup dengan hadirnya kakak perempuanku yang sangat dinantikan. Pernah kudengar cerita dari tetanggaku, bahwa sebelum meninggal, ayahku menginginkan dua hal. Pertaman, anak perempuan, dan yang kedua adalah sebuah perahu. Aku tak bisa membayangkan betapa bahagianya beliau kala kakak perempuanku lahir setelah sekian tahun membesarkan empat orang anak laki-laki. Dua tahun kemudian, keinginan keduanya terwujud, namun malang tak dapat ditolak. Keinginan keduanya adalah sekaligus yang terakhir baginya Di perahu impiannya itulah beliau meregang nyawa. Dan aku, tiba-tiba saja aku sudah mendekam di dalam rahim seorang wanita yang saat itu mungkin mengalami depresi. Ah, syukurlah keadaan itu tidak menjadikan aku seorang anak yang mengalami cacat mental atau semacamnya. Tetapi karena insiden itu pula kehidupanku tak seindah yang kuimpikan.
Semua orang mungkin berharap bisa memutar waktu, begitu pula aku. Jika saat hendak dilahirkan aku boleh memilih, aku ingin melakukan apa yang dilakukan oleh seorang anak di film butterfly effect. Memilih untuk tidak terlahir jika aku tahu bahwa kehaadiranku adalah sumber masalah. Namun semaju apapun zaman, hanya Allah yang bisa melakukannya. Lalu siapa yang bisa kujadikan kambing hitam dari semua permasalahan ini? Jawabannya tidak ada. Semuanya terjadi bukan tanpa sekenario. Ini dalah sekenario yang indah, bukan seperti sinetron-sinetron murahan karya sutradara haus penghasilan. Karena  sebaik-baik sutradara adalah Allah. Bahkan jika sejak lahir hingga saat ini aku merasa tak bahagia. Aku yakin dan benar-benar percaya bahwa masih ada hari esok yang indah. Aku merasa bahwa inilah cara Allah menyayangiku. Lebih dari kasih sayang yang kudapat dari satu pun makhlukNya. Bahkan jika kebenaran bahwa ibu angkatku sudah tak lagi menyayangiku benar-benar terjadi, maka kasih sayang Allah tak lekang oleh waktu.
                                                                                                                                                      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

sepenggal sajak..

derap langkah bersuara, semakin jelas di telinga, kupalingkan wajah, hampa. hai, hadapi aku! jangan bersembunyi layaknya musuh, atau berlagak seperti hantu! ‪ # ‎ sepenggalsajak lirih, hampir tak terdengar redup, hampir tak terlihat gagap, hampir tak terucap semua serba samar, wahai waktu, kutunggu jawabmu.. ‪ # ‎ sepenggalsajak sesekali kumerenung bertanya pada rentetan gunung akan rindu yang tak terbndung padanya sang malaikat pelindung #sepenggalsajak cinta bukan hanya soal pernyataan bukan pula soal jawaban tapi cinta adalah persoalan hati sesuatu yang sulit dimengerti tak tahu kapan ia datang lagi mungkin saat ia telah pergi oh, aku hanya tak mengerti haruskah kutanggung luka ini hanya seorang diri sesuatu yang tak bisa kupungkiri aku cemburu, dan untuk sembuh butuh ribuan waktu seperti saat aku belajar mencintaimu #sepenggalsajak

Media pembelajaran

Pengertian Media Pembelajaran Media pembelajaran secara umum adalah alat bantu proses belajar mengajar. Segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan atau ketrampilan pebelajar  sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar. Batasan ini cukup luas dan mendalam mencakup pengertian sumber, lingkungan, manusia dan metode yang dimanfaatkan untuk tujuan pembelajaran / pelatihan. Sedangkan menurut Briggs (1977) media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti : buku, film, video dan sebagainya. Kemudian menurut National Education Associaton(1969) mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras. Posisi media pembelajaran . Oleh karena proses pembelajaran merupakan proses komunikasi dan berlangsung dalam suatu sistem, maka media pembelajaran menempati posisi yang cukup penting...